3.1 Asas Hukum Untuk Dunia Cyber
Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace,
pertama adalah pendekatan teknologi, kedua pendekatan sosial
budaya-etika, dan ketiga pendekatan hukum. Untuk mengatasi gangguan
keamanan pendekatan teknologi sifatnya mutlak dilakukan, sebab tanpa
suatu pengamanan jaringan akan sangat mudah disusupi, dintersepsi, atau
diakses secara ilegal dan tanpa hak. Dalam ruang cyber pelaku
pelanggaran seringkali menjadi sulit dijerat karena hokum dan pengadilan
Indonesia tidak memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan perbuatan hukum
yang terjadi, mengingat pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi
akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia. Dalam hukum
internasional, dikenal tiga jenis jurisdiksi, yakni jurisdiksi untuk
menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe), jurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce), dan jurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate).
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu : pertama, subjective territoriality, yang
menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat
perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di
negara lain. Kedua, objective territoriality, yang
menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama
perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi
negara yang bersangkutan. Ketiga, nationality yang menentukan bahwa Negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku. Keempat, passive nationality yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban. Kelima, protective principle yang
menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk
melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar
wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau
pemerintah, dan keenam, asas Universality. Asas Universality selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk
menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian
diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity),
misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun
di masa mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan
untuk internet piracy, seperti computer, cracking, carding, hacking and viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum
internasional. Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum
baru yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat
berdasarkan batas-batas wilayah.
Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai
suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens and passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally significant (online) phenomena and physical location. Berdasarkan
karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber dimana pengaturan
dan penegakan hukumnya tidak dapat menggunakan cara-cara tradisional,
beberapa ahli berpandangan bahwa sebaiknya kegiatan-kegiatan dalam cyberspace diatur oleh hukum tersendiri, dengan mengambil contoh tentang tumbuhnya the law of merchant (lex mercatoria) pada
abad pertengahan. Asas, kebiasaan dan norma yang mengatur ruang cyber
ini yang tumbuh dalam praktek dan diakui secara umum disebut sebagai Lex Informatica.
Sengketa-sengeketa di ruang cyber juga terkait dengan Hukum Perdata
Internasional, antara lain menyangkut masalah Kompetensi forum yang
berperan dalam menentukan kewenangan forum (pengadilan dan arbitrase)
penyelesaian kasus-kasus perdata internasional (HPI). Terdapat dua
prinsip kompetensi dalam HPI :
pertama, the principle of basis of presence, yang menyatakan bahwa kewenangan pengadilan untuk mengadili ditentukan oleh tempat tinggal tergugat.
Kedua, principle of effectiveness yang
menyatakan bahwa kewenangan pengadilan ditentukan oleh di mana
harta-benda tergugat berada.Prinsip kedua ini penting untuk
diperhatikan berkenaan dengan pelaksanaan putusan pengadilan asing (foreign judgement enforcement). Asas kompetensi ini harus dijadikan dasar pilihan forum oleh para pihak dalam transaksi e-commerce.
Kekecualian terhadap asas ini dapat dilakukan jika ada jaminan
pelaksanaan putusan asing, misalnya melalui konvensi internasional.
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber maka
dapat dikemukakan beberapa teori sebagai berikut :
- Pertama The Theory of the Uploader and the Downloadr Berdasarkan teori ini, suatu negara dapat melarang dalam wilayahnya, kegiatan uploading dan downloading yang diperkirakan dapat bertentangan dengan kepentingannya. Misalnya, suatu negara dapat melarang setiap orang untuk uploading kegiatan perjudian atau kegiatan perusakan lainnya dalam wilayah negara, dan melarang setiap orang dalam wilayahnya untuk downloading kegiatan perjudian tersebut. Minnesota adalah salah satu negara bagian pertama yang menggunakan jurisdiksi ini.
- Kedua adalah teori The Law of the Server. Pendekatan ini memperlakukan server di mana webpages secara fisik berlokasi, yaitu di mana mereka dicatat sebagai data elektronik. Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server pada Stanford University tunduk pada hukum California. Namun teori ini akan sulit digunakan apabila uploader berada dalam jurisdiksi asing. Ketiga The Theory of International Spaces. Ruang cyber dianggap sebagai the fourth space. Yang menjadi analogi adalah tidak terletak pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat internasional, yakni sovereignless quality.
Daftar Pustaka
http://agel007.wordpress.com/2012/04/01/cyber-law/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar